Selasa, 20 Desember 2011

cerpen : kepulangan yang tak terlupakan

Kampung halaman.
Terlintas sesekali dalam benaknya, ketika ia termenung sendiri. Rasa itu kembali datang, perasan rindu pada tempat dimana ia dibesarkan. Ia ingin pulang, setelah tiga puluh tahun ia tinggalkan kampung halamannya. Namun, ia berfikir adakah jalan untuknya kembali, dan apakah setelah ia kembali ia akan dimaafkan?
Bertahun tahun ia berfikir untuk kembali, akan tetapi baru saat itu, ia benar benar merasa sangat ingin kembali ke kampungnya. Dan akhirnya ia pun memutuskan  untuk mencoba kembali pulang secepatnya, walau apapun yang terjadi dan apapun resikonya.
Ia sangat merindukan keluarganya, kerabatnya, dan teman temanya. Ia sangat ingin pulang, walau pun ia tahu saat ia kembali semuanya akan berubah.
Ia pun memikirkan ribuan cara bagaimana agar ia bisa pulang, akan tetapi banyak cara yang sudah ia lakukan namun tetap gagal. Akhirnya ia menyerahkan semuanya  kepada yang kuasa. Beberapa bulan berlalu, harapannya tak kunjung hilang, setiap malam ia berdoa dan memnta kepada yang kuasa agar ia dapat pulang ke kampung halamanya.
Akhirnya setelah ia mencoba dan berdoa ia pun mendapatkan jalan untuknya kembali. Saat itu ia bertemu kerabatnya di sebuah mall, ia berbincang cukup lama dengan dengan kerabatnya. Alhasil dari pembicaraannya yang kian lama ia mendapatkan nomor telepon adiknya.
Sesampainya di rumah ia secepatnya menghubungi nomor telepon yang diberikan oleh kerabatnya. Setelah beberapa kali ia mencoba namun belum ada jawaban dari nomor telepon yang ia tuju. Ia pun tidak menyerah, ia terus mencoba namun, tidak ada jawaban juga. Setelah hampir setengah jam ia mencoba akhirnya ia mendapat jawaban dari nomor tersebut.
Cklgggg, suara telepon telah diangkat oleh seseorang di seberang sana.
“Halo, assalamualaikum.” Seorang laki separuh baya mengangkat teleponnya.
“Waalaikum salam, apa benar ini saudara Dasril?” dengan nada sedikit gugup ia berbicara.
“Ya. Benar ini Dasril ada apa ya?” Tanya laki laki itu.
“Dasril? Benar ini Dasril yang di Medan kan?” lanjutnya.
“Iya, kamu benar, ada apa?” tanyanya kembali.
“Dasril ini bang Dirwan de,,, ini abangmu, kau ingat?”
“Bang Dirwan?? Benarkah??? Aku tidak percaya.” Ucap laki laki itu.
“Iya de, bener ini abangmu sayang…” jawabnya meyakinkan.
“Abang… aku kangen sama abang. Sudah lama kita tidak bertemu. Kenapa abang baru menghubungiku sekarang bang?? Kenapa??” teriak laki laki itu dengan nada sedikit rintih.
“Maafkan abang sayang, maaf… abang pun merindukanmu sama sepertimu” ucapnya sambil menangis.
“Bagaimana kabarmu bang? Apa semuanya baik? Ceritakan pada ku.” Pinta laki laki itu.
“Iya abang baik, abang juga sudah memiliki keluarga. Bagaimana denganmu?” tanyanya.
“Sama aku pun baik kapan abang pulang?”
“Maaf. Abang tidak tahu. Abang bimbang untuk pulang.”
“kenapa? Apa karena masalah yang dulu?”
“Ya, kau benar de.”
“Tenanglah bang. Kami sudah memaafkan abang dari dulu.”
“Apakah yang kau ucapkan itu benar?”
“tentu…”
“Jadi kapan abang pulang?”
“Secepatnya. Abang akan mencari uang agar abang bisa pulang dalam jangka waktu dekat.”
“Abang tidak perlu melakukan hal itu. Aku akan berikan tiketnya,lalu mengirimkan tiket secepatnya. Dan kami akan menjemputmu dibandara.”
“Terimakasih dek, terimakasih.”
Akhirnya pembicaraan mereka berdua berlanjut hingga malam tiba. Dua hari setelah itu, sebuah tiket sampai di depan kediamanya. Dan tiga hari detelahnya ia pergi menuju tempat yang dangat ingin ia kunjungi, yaitu kampong halamannya, di Medan.
Sesampainya di bandara medan ia sangat terkejut dan haru karena ia tidak pernah menyangka kalau keluarganya akan menyambutnya dengan hangat seperti itu. Tiba tiba air matanya pun menetes, ia tidak pernah menyangka harapan bertemu keluarganya kembali terwujud.
Dalam perjalananya menuju tempat Ia dibesarkan, ia memadangi keadaan sekitar. “Banyak yang telah berubah saat ini.” Ucapnya.
Setelah dua jam dalam perjalanan akhirnya ia pun sampai di rumahya. Seluruh keluarga manyambutnya dengan sambutan hangat. Bahagia menyelimuti hatinya.
Sesampainya di gerbang rumahnya ia melihat wanita tua yang menyambutnya dengan wajah bahagia, Wanita itu adalah ibunya. Ibu yang selama ini ia kenal penyayang walau sangat tegas, kini telah tua dan renta. Wanita itu sangat bahagia menyambut kedatangan anaknya, yang dikiranya telah hilang dan tidak akan pernah kembali.
Setelah ia melihat ibunya, ia langsung menghampiri dan memeluknya erat-erat. Air matanya pun menetes ke pundak ibunya.
“I..bu… maafkan aku bu.. maaf…” ucapnya dengan terbata bata.
“Ibu telah memafkanmu nak…” ucap ibunya sambil menangis.
Akhirnya setelah perjalan yang panjang, ia dapat bertemu keluarganya kembali. Setalah ia bercengkrama cukup lama dengan keluarganya ia pun pergi ke kamar miliknya, kamar yang pernah ia tinggalkan bertahun tahun.
Saat disana ia pergi mengunjungi berbagai tempat, tidak terasa sudah hampir dua bulan ia berada jauh dari Jakarta, dan akhirnya harus kembali ke Jakarta. Ia sangat sedih ketika ia ingin kembali ke Jakarta, namun itu harus ia lakukan.
Sesampainya di Jakarta ia menceritakan semuanya kepada anak dan istrinya. Setelah satu minggu kepulangannya, ia mandapatkan kabar buruk, bahwa ibunya telah meninggal. Betapa hancur hatinya, namun ia harus merelakan kepergianya. dan ia hanya bisa berdoa  kepada yang kuasa agar amal dan ibadahnya dapat diterima olek Allah SWT.


SELESAI